Tuesday, 9 September 2008

14.Kisah seorang ustad yang risau terhadap putrinya







Kisah perjalanan batin seorang ulama, melalui doa, rasa kecewa, takut, marah, khawatir, hingga mendapatkan hidayah, bahwa putri bungsunya yang progressive/agresive ternyata tetap dalam lindungan dan Jalannya Allah S.W.T. Jakarta, 15 Juni 1975 Hari ini engkau terlahir ke dunia, anakku. Meski tidak seperti harapanku bertahun-tahun merindukan kehadiran seorang anak laki-laki, aku tetap bersyukur engkau lahir dengan selamat setelah melalui jalan divakum. Telah kupersiapkan sebuah nama untukmu; Qaulan Syadida..Aku sangat terkesan dengan janji Allah dalam surat Al-Ahzab ayat tujuh puluh, maknanya perkataan yang benar. Harapanku engkau kelak menjadi seorang yang kaya iman dan memperoleh fauzan'adzima, kemenangan yang besar seperti yang engkau telah dijanjikan Allah dalam Al-Quran. Sungguh kelahiranmu telah mengajarkanku makna bersyukur... 1981 Tahun ini engkau memasuki sekolah dasar.


Usiamu belum genap enam tahun. Tetapi engkau terus menangis minta disekolahkan seperti saudarimu. Engkau berbeda dari keempat kakakmu terdahulu. Bagaimana engkau dengan gagah tanpa ragu atau malu-malu melangkah memasuki ruang kelasmu. Bahkan engkau tak minta dijemput. Saat ini aku mulai menyadari sifat keberanian yang tumbuh dalam dirimu yang tak kutemukan dalam diri saudarimu yang lain.
1987 Putriku, sungguh aku pantas bangga padamu. Tahun ini engkau ikut pertandingan tingkat nasional di sebuah TV. Dengan bangga aku menyaksikan engkau tampil penuh confident di layar TV dan aku pun bisa berkata pada teman-temanku; itu anakku Qaulan...Meski tidak nomor satu, aku tetap bangga padamu. Namun di balik rasa banggaku padamu selalu terbesit satu kekhawatiran akan sikapmu yang agak aneh dalam pengamatanku.


Tidak seperti keempat kakakmu yang kalem dan cendrung memilik sifat-sifat perempuan, engkau justru sangat angresif, pemberani, agak keras kepala, meski tetap santun padaku dan selalu juara kelas.
Jika hari Ahad tiba, engkau lebih suka membantuku membersihkan taman, mengecat pagar, atau memegangi tangga bila aku naik untuk membetulkan atap yang rusak. Engkau lebih sering bersamaku dan bertanya tentang alat-alat pertukangan ketimbang membantu ibumu memasak di dapur seperti saudarimu yang lain. Kebersamaan dan kedekatanmu denganku, membuatku sering meperlakukanmu sebagai anak lelakiku, dengan senang hati aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, membekalimu dengan pengatahuan dan permainan untuk anak lelaki. Tak jarang kita pergi memancing atau sekedar menaikkan layang-layang sore hari di lapangan madrasah tempat aku mengajar. Putriku, sungguh kekhawatiranku terbukti jugak.


Engkau menolak bersekolah di sekolah ugama seperti saudarimu. Diam-diam tanpa sepengetahuanku engkau telah register di sebuah sekolah kebangsaaan. diriku sangat marah padamu. beruntung ibumu datang membelamu, jika tidak, mungkin tangan ini sudah berpindah ke pipimu yang putih mulus. Degilnya dirimu, bahkan tak setetes airmata pun jatuh dari kedua matamu yang tajam menatapku.
Putriku, jika aku marah padamu semata-mata karena aku khawatir engkau larut dalam situasi pergaulan yang tak bagus, anakku. Terlebih-lebih saat engkau menolak mengenakan jilbab seperti keempat kakakmu. Betapa sedih dan kecewa hatiku melihatmu,


Nak...
1993 Tahun ini engkau menamatkan SPMmu. Engkau menjadi gadis cantik, periang, pemberani, dan banyak teman. Temanmu mulai dari tukang kebun sampai tukang becak, wartawan, bahkan menurut ibumu pernah anggota pasukan khas darat datang mencarimu. Putriku, disetiap bangun tidurku, aku seolah tak percaya engkau adalah putriku, putri seorang yang sering dipanggil Ustadz, putri seorang kepala madrasah, putri seorang pendiri perguruan Islam... Putriku, entah mengapa aku merasa seperti kehilanganmu. Sedih rasanya berlama-lama menatapmu dengan potongan rambut hanya berbeda beberapa inchi dengan rambutku. Biar praktis dan sehat; berkali-kali itu alasan yang kau katakan pade ibumu. Jika terjadi sesuatu yang tidak baik pada dirimu selama melewati usia remajamu, putriku maka akulah orang yang paling bertanggung jawab atas kesalahan itu. Aku tidak behasil mendidikmu dengan cara yang Islami.



Dalam doa-doa malamku selalu kebermohon pada Rabbul 'Izzati agar engkau dipelihara olehNya ketika lepas dari pengawasan dan pandangan mataku. Kesedihan makin bertambah takkala diam-diam engkau ikut ujian untuk masuk universiti dan lulus di fakultas teknik. Fakultas teknik, putriku? Ya Rabbana, aku tak sanggup membayangkan engkau menuntut ilmu bersama dengan ratusan anak laki-laki dan bukan satupun mahrommu?
Dalam silsilah keluarga kita, tidak satupun anak pempuan belajar ilmu teknik, anakku. Keempat kakakmu menimba ilmu di institut agama dan ilmu keguruan. Ya, silsilah keluarga kita adalah keluarga guru, anakku. Engkau kemukakan sejumlah alasan, bahwa Islam juga need architect, need teknokrat, Islam bukan untuk ibadah saja...Baiklah, aku sudah terlalu lelah menghadapimu, aku terima segala argumentasi dan pemikiranmu,putriku.. Dan aku lebih bisa menerima seandainya engkau juga mengenakan busana Muslimah saat memulai masa kuliahmu.



1995 Tahun ini tidak akan pernah kulupakan. Akan kucatat baik-baik...Engkau putriku, yang selalu kusebut namamu dalam doa-doaku, kiranya Allah S.W.T mendengar dan mengabulkan pintaku. Ketika engkau pulang dari kuliahmu; subhannalah! Engkau sangat cantik dengan jilbab dan baju panjangmu, aku sampai tidak mengenalimu, putriku. Engkau telah berubah, putriku.. Apa sesungguhnya yang engkau dapati di luar sana. Bertahun-tahun aku mengajarkan padamu tentang kewajiban Muslimah menutup aurat, tak sekalipun engkau cela perkataanku meski tak sekalipun juga engkau indahkan anjuranku.


Dua tahun di bangku kuliah, tiba-tiba engkau mengenakan busana takwa itu? Apa pula yang telah membuatmu begitu mudah menerima kebenaran ini? Putriku, setelah sekian lamanya waktu berlalu, kembali engkau mengajarkan padaku tentang hakikat dan makna bersyukur.
1997 Putriku, kini aku menulis dengan suasana yang lain. Ada begitu banyak idea tersimpan di hatiku melihat perubahan yang terjadi dalam dirimu. Engkau menjadi sangat sopan, bahkan terlihat lebih dewasa dari keempat saudarimu yang kini telah Kawen semuanya. Kini, hanya engkau aku dan ibumu yang mendiami rumah ini. Kurasakan rumah kita seolah-olah berpancarar cahaya setiap saat dilantuni tilawah panjangmu. Gemercik suara air tengah malam menjadi irama yang kuhafal dan pantas kurenungi. Putriku, jika aku pernah merasa bahagia, maka saat paling bahagia yang pernah kurasakan di dunia adalah saat ketika diam-diam aku melihatmu tengah menangis dalam sujud malammu.... Selalu kuyakinkan diriku bahwa akulah si pemilik mutiara cahaya hati itu, yaitu engkau putriku...


1998 Putriku, kalau saat ini aku merasa sangat bangga padamu, maka itu amat beralasan. Engkau telah lulus menjadi sarjana dengan predikat cum laude. Keharuan yang menyesak dadaku mengalahkan puluhan tanya ibumu, diantaranya; mengapa engkau tidak punya teman pendamping pria seperti kakak-kakakmu terdahulu? Engkau begitu sederhana, putriku, tanpa polesan apapun seperti lazimnya mereka yang akan berangkat wisuda, semua itu justru membuatku semakin bangga padamu. Entah darimana engkau bisa belajar begitu banyak tentang kebenaran, anakku...
Jika hari ini aku meneteskan airmata saat melihatmu dilantik, itu adalah airmata kekaguman melihat kesungguhan, ketegaran, serta prinsip yang engkau pegan teguh. Dalam hal ini akupun mesti belajar darimu, putriku... 1




Agustus 1999
Putriku, bulan ini usiaku memasuki bilangan enampuluh tiga. Aku teringat Rasulullah mengakhiri masa dakwahnya didunia pada usia yang sama. Akhir-akhir ini tubuhku terasa semakin melemah. Penyakit jantung yang kuderita selama bertahun-tahun kemarin mendadak kumat, saat kudapati jawaban diluar dugaan dari keempat saudarimu. Tidak satu pun dari mereka bersedia meneruskan perguruan yang telah ku pelihara selama puluhan tahun. Aku sangat faham, mereka tentu mempunyai pertimbangan yang lain, yaitu para suami mereka. Sedih hatiku melihat mereka yang telah kudidik sesuai dengan keinginanku kini seolah-oleh bersama sama menjauhiku. Jika aku menulis diatas tempat tidur rumah sakit ini, itu dengan kondisi sangat lemah, putriku. Aku tak tahu pasti kapan Allah memanggilku. Putriku....kutitipkan buku harianku ini pada ibumu agar diserahkan padamu. Aku percaya padamu...Jika aku memberikan buku ini padamu, itu karena aku ingin engkau mengetahui betapa besar cintaku padamu, mengapa dulu aku sering memarahimu..maafkan ayah, maafkan ayah ...putriku...


Kini hanya engkau satu-satunya penerusku...Aku percaya perguruan yang telah kubangun dengan tanganku sendiri ini padamu. Aku bercita-cita mengembangkannya menjadi sebuah pesantren. Engkau masih ingat padang tempat kita dulu bermain layangan? Itu adalah tanah warisan almarhum kakekmu.
Di padang itulah kurencanakan berdiri bangunan asrama tempat para santri bermukim. Engkau seorang architect, anakku, tentu lebih memahami bangunan macam apa yang sesuai untuk sebuah asrama pesantren... Kuserahkan sepenuhnya kepadamu, juga untuk mengelolanya nanti. Sebab aku yakin, dari tanganmu, dari hatimu yang jernih, dari perkataan dan tindakanmu yang selalu sejalan dengan kebenaran akan terlahir sebuah fauzan'adzima, kemenangan yang besar, seperti yang telah Allah janjikan, yakinlah, putriku...


Dalam diri dan jiwamu kini terhimpun beragam keilmuan dunia dan akhirat. Kini kusadari engkau bukan saja sekedar terlahir dari rahim ibumu, tetapi juga lahir dari rahim bernama Hidayah. Semoga Allah menyertai dan memudahkan jalan yang akan engkau lalui, putriku. Amien Ya Rabbal 'Alamiin.
12 Agustus 1999 Rabbi, jika airmata jatuh, bukan karena aku tidak mengikhlaskan ayahku Engkau panggil, tapi sebab aku belum mengenali ayahku selama ini, sepenuhnya. Sebab hanya seujung kuku baktiku padanya. Rabbi, perkenankan aku menjalankan amanah Ayah dengan segenap radhi-Mu. hanya Engkau..ya Mujib...

No comments: